Postingan

Menampilkan postingan dari 2025

Perut💸 Menentukan Cara Berpikir🔋

Ada hal yang sulit diterima ketika berdiskusi dengan orang-orang yang kebutuhan perutnya saja belum tercukupi. Ada argumen tentang bagaimana meningkatkan bisnis atau mengembangkan ide, tetapi mereka sendiri masih lapar atau pikirannya hanya fokus pada perut. Maka sulit bagi mereka untuk memikirkan ide-ide baru. Selain itu, masih banyak yang tidak mau membongkar keinginan untuk kaya dan hidup sejahtera sendiri. Mereka ingin menguasai alat produksi, ingin menggaji orang lain, ingin menjadi manajer atau bos karena merasa memiliki pendidikan yang lebih tinggi, tetapi pada akhirnya hanya haus kekuasaan dan memikirkan dirinya sendiri. Mungkin kita perlu belajar hal-hal di bawah ini, karena saya merasa sulit menjelaskan sosialisme kepada orang yang cara berpikirnya masih kaku. Sosialisme ilmiah membahas materialisme historis dan dialektis. Pertama, materialisme historis melihat bahwa materi, uang, ekonomi, dan kenyataan hidup adalah hal yang membentuk sejarah. Pemegang alat produksi dan siste...

Ketika Idealisme Tersandung Realitas: Membaca Animal Farm dan Brook Farm

Gambar
Setiap impian tentang kesetaraan selalu lahir dari luka kolektif. Manusia atau dalam fiksi Orwell, para hewan memandang struktur yang menindas dan bermimpi tentang dunia yang lebih adil. Namun, sejarah sering menunjukkan bahwa idealisme yang paling mulia pun bisa berubah arah ketika berhadapan dengan kekuasaan dan realitas ekonomi. Dua kisah berbeda, Animal Farm dan Brook Farm, memperlihatkan pola yang sama: betapa rapuhnya cita-cita ketika struktur pendukungnya tidak disiapkan dengan matang. Dalam Animal Farm, George Orwell menggunakan peternakan milik Tuan Jones sebagai alegori tentang revolusi dan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip awal. Hewan-hewan yang bangkit melawan manusia memimpikan masyarakat tanpa eksploitasi. Tetapi begitu kekuasaan beralih, para babi yang digambarkan paling cerdas perlahan membangun hierarki baru. Perdebatan antara Snowball dan Napoleon, proyek kincir angin, dan serangkaian manipulasi terhadap hewan lain menunjukkan bagaimana revolusi dapat...

“Nalar Sosial dari Bacaan ABC”

Gambar
Apakah pendidikan merupakan bagian dari industri pabrik? Pertanyaan ini penting ketika kita melihat bagaimana manusia membentuk pengetahuan dan masyarakatnya. Jika menengok ke masa lalu, para nabi terdahulu tidak bergumul dengan isu seperti perbudakan atau ketidaksetaraan sosial secara sistematis. Fokus utama mereka adalah menuntun manusia agar percaya kepada Tuhan. Namun ketika Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, risalah yang dibawa bukan hanya kabar gembira, tetapi juga proyek besar penyempurnaan akhlak manusia. Di sinilah gagasan tentang kesetaraan, penghapusan perbudakan, dan penghormatan terhadap perempuan mulai menguat. Saya sering menyebut kondisi pra-Islam itu sebagai keadaan jahil, fakir, dan kafir—dan semangat Nabi Muhammad adalah membebaskan manusia dari ketiganya. Sosialisme kemudian muncul jauh setelah itu, sebagai produk dari perkembangan kapitalisme. Ketika Revolusi Industri dan Revolusi Prancis mengguncang Eropa, terutama pada momentum Rusia ...

KETAKUTAN Lahir Dari Pengetahuan Yang (CACAT)

Gambar
Takut, pada dasarnya, lahir dari dua sumber: rasionalitas dan pengalaman. Ia bisa muncul dari pikiran yang membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk, atau dari pengalaman—baik yang kita alami sendiri maupun yang kita dengar dari orang lain. Dalam banyak kasus, rasa takut sesungguhnya muncul karena pengetahuan kita setengah-setengah, tidak utuh, dan belum lengkap. Kekurangan pengetahuan itulah yang kemudian menciptakan kekacauan dalam persepsi. Saya pernah mengalaminya dalam sebuah forum politik. Saya bertanya karena memang ingin bertanya, bukan karena saya memahami isu tersebut secara mendalam. Dalam forum itu saya berbicara mengenai peran mahasiswa dalam melakukan kajian intelektual—khususnya pentingnya transparansi data dari DPR. Namun saya dikonter: “Data apa? Informasi apa? Anggaran yang mana?” Di momen itu saya blunder. Bukan karena salah, tetapi karena saya tidak siap, sementara forum sudah tidak kondusif karena banyak peserta ingin pulang. Tubuh saya mulai berkeringat; patos be...

Tentang Asumsi, Logika, dan Kenyataan

Berpikir tentang bayang-bayang pendapat, asumsi, dan opini pada dasarnya adalah berbicara tentang apa yang kita lihat melalui cahaya penglihatan kita. Mata bekerja dengan cahaya dan objek; namun cahaya bisa kurang terang, terlalu terang, atau bahkan menipu. Objek pun bisa kabur, tidak jelas, atau tidak kita ketahui sama sekali. Kita membutuhkan cahaya mentari yang abadi—meski pada kenyataannya matahari hanya hadir di pagi hingga menjelang petang. Malam hari bukanlah waktu terbaik untuk melihat; penglihatan menjadi kabur kecuali dibantu cahaya-cahaya sementara yang tidak abadi dan bisa padam kapan saja. Kita terlalu sering mengira, mengukur, dan menduga—semua itu hanyalah hipotesis yang belum tentu benar atau salah, hanya kemungkinan. Logika kita pun kerap cacat ketika membuat kesimpulan. Misalnya: Premis A: hujan membuat baju basah. Premis B: baju basah jika hujan. Kesimpulan yang benar adalah: baju basah bisa saja disebabkan hujan, tetapi bisa juga karena disiram seseorang atau sebab ...

Jangan Biarkan Iba Menjadi Angin Lalu: Refleksi Kepedulian dari Orang Tua

Ketika seorang ibu bercerita tentang seorang kakek yang sakit dan harus berjuang sendirian tanpa perhatian anak-anaknya, hati siapa yang tidak terenyuh? Kisah sederhana di ruang tunggu rumah sakit itu membuka mata bahwa banyak orang tua yang diabaikan ketika mereka sudah rapuh. Padahal, orang tua pernah mengorbankan segalanya demi anaknya. Sayangnya, rasa iba seringkali hanya muncul ketika kita melihat penderitaan orang lain dari jauh. Begitu kembali ke kehidupan sehari-hari, rasa itu menguap begitu saja. Lebih menyedihkan lagi, rasa peduli kadang tidak kita hadirkan kepada orang-orang terdekat: ayah, ibu, saudara, teman, atau pasangan. Mereka jarang kita tanyakan kabarnya, jarang kita dengarkan keluh kesahnya, seolah-olah kepedulian hanya pantas diberikan pada tragedi yang tampak di depan mata. Setiap orang sebenarnya butuh didengar. Butuh ditanya apakah ia baik-baik saja, apakah ada yang bisa dibantu, atau sekadar ditenangkan dengan perhatian tulus. Kepedulian sejati tidak berhenti p...

Mahasiswa, Akreditasi, dan Eksploitasi: Suara dari Kampus

Sebagai seorang jurnalis pengamat kampus, saya tidak bisa menutup mata terhadap fenomena yang sedang terjadi di lingkungan akademik kita. Dalam sebuah forum himpunan mahasiswa program studi (HMPS), saya melihat jelas bagaimana PEMBATASAN kreativitas mahasiswa, khususnya jika aktivitas itu tidak bersinggungan dengan kepentingan akreditasi. Kreativitas mahasiswa seakan hanya diizinkan bila ia mampu menjadi amunisi dalam mengejar peringkat institusi. Sementara itu, ruang-ruang dialektika, kesadaran kritis, dan pengembangan intelektual yang seharusnya menjadi jantung kehidupan kampus justru dipinggirkan. Ironi terbesar adalah ketika pimpinan kampus menuntut mahasiswa untuk membuktikan prestasi—baik di tingkat nasional maupun internasional—namun mengabaikan penyediaan fasilitas yang memadai. Mahasiswa didorong untuk menjadi “mesin prestasi” demi akreditasi, tetapi pada saat yang sama mereka dieksploitasi tanpa dukungan yang layak. Prestasi non-akademik dianggap tidak relevan, mahasiswa krit...

Kembalilah dari Tiada: Refleksi Dua Hari Terakhir

Dua hari terakhir ini adalah ruang yang aneh—seperti melangkah keluar dari cahaya, masuk ke lorong yang gelap, lalu sadar bahwa cahaya yang selama ini kita kejar hanyalah pantulan kaca yang retak. Dalam sunyi, aku kembali dari tiada menuju tiada, dan justru menemukan kebahagiaan dalam ketiadaan itu. Sebab di sanalah aku berjumpa dengan orang-orang malang, mereka yang hidupnya diperas oleh kenyataan palsu, namun masih menyimpan bara api di dadanya. Kami generasi baru, bukan untuk mewarisi kebodohan generasi tua yang mengacau, tapi untuk menguburnya. Kami ditugaskan bukan oleh tuhan atau sejarah yang berbaik hati, melainkan oleh penderitaan yang memanggil kami. Kami akan menjadi hakim atas segala bentuk eksploitasi mahasiswa—hakim yang tidak buta oleh simbol, tidak tuli oleh pujian, dan tidak lumpuh oleh rasa takut. Kami menolak tunduk kepada realitas palsu yang diciptakan oleh para anjing konstitusi; mereka yang menggenggam pena hukum untuk mengiris leher rakyatnya sendiri. Dan ketika j...

🧠 Prestasi sebagai Perbudakan: Kampus, Kapitalisme Akademik, dan Matinya Intelektual Organik

 Meritokrasi sering digembar-gemborkan sebagai sistem adil: siapa yang berusaha, dia yang berhasil. Namun, di balik gemerlap prestasi akademik, tersembunyi wajah lain dari meritokrasi—ia justru memperbudak pemenangnya. Mahasiswa “berprestasi” terus didorong ikut lomba, menulis artikel, dan tampil di berbagai forum. Bukan lagi demi belajar atau berkembang, tetapi demi menjaga posisi di etalase institusi. Di kampus, terutama kampus swasta yang tengah mengejar akreditasi, mahasiswa berprestasi dijadikan alat promosi. Mereka dihadirkan sebagai bukti keberhasilan sistem pendidikan: menjadi duta kampus, wajah brosur, dan pengisi profil akreditasi. Tapi sesungguhnya, mereka bukan lagi subjek yang belajar, melainkan objek yang dijual. Kampus memanen nama mereka, tapi tak pernah benar-benar membebaskan mereka. 🏭 Kampus sebagai Alat Produksi Hari ini, kampus menjelma menjadi pabrik: tempat produksi tenaga kerja yang siap pakai. Mereka tidak mencetak manusia bebas, tetapi manusia patuh da...

Antara Opsi, Emosi, dan Harapan: Refleksi dari Rapat Tertinggi Organisasi

Rapat tertinggi organisasi, yang dilaksanakan pada 23–24 Mei, kembali menghadirkan atmosfer yang begitu intens. Sebagai peserta penuh tahun ini, aku membawa semangat berbeda dibanding tahun sebelumnya saat masih menjadi pimpinan sidang. Pengalaman menjadi pemimpin forum di masa lalu memberiku bekal untuk memahami dinamika ruang sidang: ketegangan, drama, dan tarik-menarik kepentingan yang kerap mewarnainya. Tapi kali ini, aku berdiri dari sisi yang berbeda—bukan lagi sebagai fasilitator, melainkan sebagai pengusul gagasan dan pengawal jalannya arah. Dalam forum ini, kita telah menyepakati bahwa minimal dua opsi dan maksimal tiga afirmasi dapat diajukan dalam satu pembahasan. Namun, praktik di lapangan tak selalu setia pada kesepakatan. Opsi dan afirmasi yang kuajukan—berlandaskan argumentasi logis dan pengalaman empiris—tidak diakomodasi. Bahkan ketika aku menegaskan bahwa pengalaman empiris tidak dapat diperdebatkan, tetap saja keraguan datang dari peserta lainnya. Sikap tidak percaya...

Titik, Koma, dan Organisasi: Menafsirkan Perjalanan Bersama

Malam ini aku termenung, menyaksikan dua sahabat—Rey dan Roy—pulang bersama namun menuju rumah yang berbeda. Satu momen sederhana yang menyisakan banyak tanya dalam benakku. Kami baru saja membicarakan hidup dengan segala tanda bacanya: tanda tanya yang menggugat, seru yang meledak-ledak, titik yang mengakhiri, dan koma yang memberi jeda. Obrolan itu bukan sekadar canda, tapi semacam refleksi tentang organisasi, tentang kebersamaan, tentang jalan yang sering kita tempuh tanpa sempat memahami arah. Barangkali organisasi pun tak jauh berbeda. Ia adalah rumah besar tempat kita bertemu, bertumbuh, dan saling bertukar pikiran. Namun dalam rumah itu, tidak semua orang menuju ruang yang sama. Ada yang berangkat dari idealisme, ada yang sekadar singgah. Ada yang berjalan bersama, tapi nyatanya tak searah. Perbedaan tujuan dan irama langkah kerap menguji kesabaran, bahkan memaksa kita belajar: bahwa kedekatan tak selalu berarti kesamaan arah. Percakapan kami yang tertunda malam itu seperti gamb...

Antara Cinta dan Tanggung Jawab: Refleksi Seorang Ketua Organisasi

Namaku Johan, dan tahun ini aku diberi amanah sebagai ketua panitia PKKMB di kampus. Sebuah tanggung jawab yang tidak ringan, apalagi diiringi dengan peran ganda sebagai ketua organisasi. Dalam pusaran aktivitas yang padat dan tuntutan untuk tampil profesional, aku mendapati diriku harus membuat pilihan-pilihan yang tidak mudah—termasuk dalam urusan perasaan. Aku punya seorang kekasih yang, dengan penuh kesadaran, aku kesampingkan sejenak demi kelancaran roda organisasi yang aku pimpin. Pertanyaannya kemudian muncul: logiskah jika aku memilih untuk tidak menampakkan kekasihku di hadapan teman-teman organisasi? Aku ingin bersikap profesional, menjaga agar relasi personal tidak memengaruhi dinamika kerja kolektif. Namun, aku menyadari bahwa apa yang bagi seorang laki-laki terasa sebagai bentuk profesionalitas, bisa jadi ditangkap berbeda oleh perempuan yang mendambakan pengakuan dan kejelasan dalam hubungan. Sebagai ketua, waktu adalah sumber daya yang selalu terasa kurang. Jadwal rapat,...

Tertulis, Maka Tak Lagi Perih

Bagian 1:“Di Antara Malam dan Cahaya Ponsel” Malam itu dingin, bukan karena udara, tapi karena kata-kata yang tak pernah benar-benar sampai. Di balik pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup, Aira menatap layar ponselnya. Jari-jarinya menari pelan di atas papan ketik, menuliskan keluhan yang selama ini disimpannya sendiri. "Ayah tadi ngomel lagi. HP terus, katanya. Nuntut terus." Darin di seberang layar membalas dengan tenang, seperti biasanya. Ia tahu, Aira tak sedang mencari solusi. Ia hanya ingin dipahami, disayangi tanpa syarat. "Memang kadang orang tua seperti itu. Mereka pikir kita masih anak kecil. Tapi kita sudah belajar menahan tangis dengan diam." Aira tersenyum getir. Ia tahu Darin mengerti. Mereka berdua punya luka yang serupa—berasal dari rumah, tempat yang seharusnya paling aman. Tapi luka-luka itu tak pernah terlihat dari luar, tersembunyi di balik senyum dan tawa tipis yang dipaksakan. "Aku bahkan lupa kapan terakhir kali bisa bicara jujur pada ...

Kritis di Tengah Krisis : APATIS

Gambar
Di tengah hiruk-pikuk perubahan dan pergolakan sosial, saya justru merasakan kehampaan. Ketika kalian bersuara lantang di tengah kebobrokan, kalian pun—tanpa sadar atau tidak—telah menjadi bagian dari kebobrokan itu sendiri. Ada upaya menggiring opini, menari dalam konflik yang berakar dari kebencian dan haus validasi. Ini krisis, katanya. Tapi yang muncul bukanlah sikap kritis—melainkan apatisme yang menyaru sebagai kepedulian. Ironisnya, mereka yang paling vokal menyuarakan kritik pun sering kali merupakan bagian dari permasalahan yang mereka kecam. Kita bangga pada tradisi perpeloncoan, gemar merendahkan sesama atas nama "kedewasaan organisasi" atau "proses pengkaderan." Kita berlindung di balik kedok kritis, padahal sering kali hanya memupuk ego dan kekuasaan kecil. Padahal, kritik sejati lahir dari pendidikan dan pemahaman yang mendalam—bukan dari amarah tanpa arah. Apa artinya mengagungkan Aswaja jika kita sendiri tak memahami nilai dan esensinya? Apa gunanya ...

Intelektual Organik dalam Menyuarakan Kaum Tertindas

Gambar
Refleksi Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional Pada tanggal 1 Mei 1889, dalam Kongres Buruh Dunia di Paris, disepakati bahwa 1 Mei akan diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Penetapan ini bukan sekadar seremonial tahunan, tetapi menjadi simbol perlawanan kaum pekerja terhadap sistem yang menindas. Dalam konteks Indonesia, istilah "buruh" sendiri berasal dari bahasa lisan petani Jawa dan dalam pendekatan sosiologis diidentifikasi dengan konsep proletariat — suatu kelas pekerja yang tidak memiliki alat produksi dan hanya menjual tenaga kerja sebagai satu-satunya komoditas. Hubungan antara buruh dan majikan bersifat konfliktual, mencerminkan pertentangan kepentingan antara kelas pekerja dan pemilik modal. Pendidikan dalam Jeratan Hegemoni Namun, perjuangan tidak akan mampu bergerak hanya dengan semangat, melainkan juga memerlukan kesadaran. Di sinilah peran kaum intelektual menjadi sangat krusial. Mahasiswa, akademisi, dan kaum terdidik harus mampu menjadi agen pe...

Pengantar Filsafat: Dari Socrates Hingga Abad Pertengahan (vol.2)

🖋 Oleh: Masykur Arif Rahman, Diva Press, 2024 📅 Catatan Membaca: Kamis, 10 April 2025 | 18.40 WIB  Pengantar Filsafat: Menyelami Pikiran Aristoteles Hari ini saya kembali melanjutkan bacaan dari buku Pengantar Filsafat Periode Socrates Sampai Abad Pertengahan karya Masykur Arif Rahman. Berbeda dari sesi sebelumnya, kali ini saya mencoba langsung mencatat poin-poin penting dari setiap paragraf yang saya baca. Meski saya hanya membaca selama kurang lebih 47 menit, pembahasan tentang Aristoteles benar-benar padat dan menarik perhatian saya. Aristoteles dan Empat Penyebab Salah satu bagian yang cukup mengesankan adalah pemikiran Aristoteles tentang metafisika . Ia mengangkat pertanyaan mendalam tentang apa yang ada , dan membaginya ke dalam dua kategori besar: substansi dan aksidensi. Tak berhenti di sana, Aristoteles juga memperkenalkan konsep tentang empat penyebab : Penyebab material (bahan pembentuk sesuatu), Penyebab formal (bentuk atau rancangan), Penyebab efisi...

Pengantar Filsafat: Dari Socrates Hingga Abad Pertengahan (vol.1)

  🖋 Oleh: Masykur Arif Rahman, Diva Press, 2024  📅 Catatan Membaca: Selasa, 8 April 2025 | 16.10 WIB Pengantar Filsafat: Socrates dan Plato dalam Sorotan Awal Hari ini, dalam waktu satu jam, saya menyempatkan diri membaca buku Pengantar Filsafat Periode Socrates Sampai Abad Pertengahan karya Masykur Arif Rahman. Meskipun waktu membaca saya sangat terbatas, yaitu hanya satu jam, saya berusaha menangkap inti dan maksud dari setiap halaman yang saya baca. Hingga saat ini, saya telah mencapai halaman 42. Buku ini cukup menarik karena menyajikan sejarah singkat para tokoh filsafat, pemikiran-pemikiran penting mereka, serta pengaruhnya dalam konteks zaman dan negara masing-masing. Socrates dan Revolusi Berpikir Buku ini dibuka dengan kisah Socrates — sang filsuf yang dikenal membawa filsafat turun dari langit dan memperkenalkannya ke kota-kota, bahkan ke rumah-rumah. Socrates memaksa masyarakat untuk menelaah ulang makna kehidupan, kebaikan, kejahatan, serta etika. Ia mengemba...