🧠 Prestasi sebagai Perbudakan: Kampus, Kapitalisme Akademik, dan Matinya Intelektual Organik
Meritokrasi sering digembar-gemborkan sebagai sistem adil: siapa yang berusaha, dia yang berhasil. Namun, di balik gemerlap prestasi akademik, tersembunyi wajah lain dari meritokrasi—ia justru memperbudak pemenangnya. Mahasiswa “berprestasi” terus didorong ikut lomba, menulis artikel, dan tampil di berbagai forum. Bukan lagi demi belajar atau berkembang, tetapi demi menjaga posisi di etalase institusi.
Di kampus, terutama kampus swasta yang tengah mengejar akreditasi, mahasiswa berprestasi dijadikan alat promosi. Mereka dihadirkan sebagai bukti keberhasilan sistem pendidikan: menjadi duta kampus, wajah brosur, dan pengisi profil akreditasi. Tapi sesungguhnya, mereka bukan lagi subjek yang belajar, melainkan objek yang dijual. Kampus memanen nama mereka, tapi tak pernah benar-benar membebaskan mereka.
🏭 Kampus sebagai Alat Produksi
Hari ini, kampus menjelma menjadi pabrik: tempat produksi tenaga kerja yang siap pakai. Mereka tidak mencetak manusia bebas, tetapi manusia patuh dan terampil. Di ruang ini, mahasiswa berprestasi menjadi “buruh akademik” yang dituntut produktif demi citra lembaga. Pendidikan menjadi instrumen kapitalisme akademik, di mana nilai tukar lebih penting dari nilai makna.
Sebaliknya, mahasiswa organisasi yang kritis, vokal, dan berpihak pada persoalan sosial justru dimarjinalkan. Mereka dianggap pengganggu, tidak profesional, bahkan tidak layak ditampilkan. Padahal merekalah yang menjalankan fungsi kampus sejatinya: menggugat, memperjuangkan keadilan, dan membangun kesadaran kolektif.
📉 Marjinalisasi Intelektual Organik
Di tengah logika pasar ini, intelektual organik—mereka yang lahir dari realitas sosial dan berpihak pada perubahan—terpinggirkan. Kampus lebih menyukai intelektual formal: pintar tapi tidak membantah, sibuk tapi tidak bersuara. Maka tak heran jika keberanian bertanya digantikan ketekunan mengumpulkan sertifikat. Kepekaan sosial dikalahkan oleh nilai IPK. Aktivisme digantikan personal branding.
Kapitalisme akademik telah membajak makna prestasi. Segala sesuatu dihitung dan diaudit: jumlah publikasi, partisipasi lomba, dan kecepatan lulus. Proses belajar yang mendalam, kontestasi gagasan, serta keberanian berpihak—semuanya tak masuk dalam standar keberhasilan. Pendidikan kehilangan roh pembebasnya.
❓ Pencapaian atau Perbudakan?
Pertanyaannya: apakah kampus yang mengandalkan segelintir mahasiswa berprestasi sebagai komoditas pencitraan benar-benar memberdayakan mereka? Ataukah itu bentuk perbudakan intelektual yang lebih halus dan sistematis?
Kita harus jujur: kampus bukan sekadar tempat mencetak juara lomba atau pencetak angka IPK tinggi. Kampus adalah ruang hidup yang semestinya melahirkan manusia yang berpikir, peduli, dan berani mengguncang sistem yang tidak adil. Maka, kampus perlu kembali pada fitrahnya: menjadi ruang pembebasan, bukan mesin produksi manusia patuh.
Dan untuk itu, kita harus berdiri bersama intelektual organik—yang mungkin tak selalu tampil di podium juara, tapi tak pernah absen dalam perjuangan.
Komentar
Posting Komentar