Mahasiswa, Akreditasi, dan Eksploitasi: Suara dari Kampus
Sebagai seorang jurnalis pengamat kampus, saya tidak bisa menutup mata terhadap fenomena yang sedang terjadi di lingkungan akademik kita. Dalam sebuah forum himpunan mahasiswa program studi (HMPS), saya melihat jelas bagaimana PEMBATASAN kreativitas mahasiswa, khususnya jika aktivitas itu tidak bersinggungan dengan kepentingan akreditasi. Kreativitas mahasiswa seakan hanya diizinkan bila ia mampu menjadi amunisi dalam mengejar peringkat institusi. Sementara itu, ruang-ruang dialektika, kesadaran kritis, dan pengembangan intelektual yang seharusnya menjadi jantung kehidupan kampus justru dipinggirkan.
Ironi terbesar adalah ketika pimpinan kampus menuntut mahasiswa untuk membuktikan prestasi—baik di tingkat nasional maupun internasional—namun mengabaikan penyediaan fasilitas yang memadai. Mahasiswa didorong untuk menjadi “mesin prestasi” demi akreditasi, tetapi pada saat yang sama mereka dieksploitasi tanpa dukungan yang layak. Prestasi non-akademik dianggap tidak relevan, mahasiswa kritis dicap pembangkang, dan organisasi mahasiswa ditekan untuk sekadar menjadi alat produksi penghargaan. Padahal, esensi prestasi sejati lahir dari proses kesadaran, pencapaian yang berakar pada kebebasan intelektual, bukan sekadar hasil paksaan.
Lebih jauh lagi, relasi kuasa antara dosen, pimpinan, dan mahasiswa sering kali timpang. Dosen, yang seharusnya menjadi fasilitator, justru kerap menekan mahasiswa untuk melahirkan prestasi demi beban tuntutan pimpinan. Mereka lupa bahwa mahasiswa bukanlah objek yang bisa diperlakukan semena-mena. Kita membayar biaya pendidikan, kita berhak mendapatkan fasilitas terbaik, dan kita berhak menuntut balik apabila justru dieksploitasi. Mahasiswa bukan tenaga kerja murah bagi kepentingan akreditasi atau alat produksi bagi kepentingan kapitalistik kampus.
Inilah saatnya mahasiswa sadar, bahwa posisi mereka bukan sekadar penerima kebijakan, melainkan pemilik kedaulatan tertinggi dalam dunia pendidikan. Dosen dan pimpinan hanya diberi mandat untuk memfasilitasi, bukan membelenggu. Jika mereka tetap abai terhadap kesadaran mahasiswa, maka konsekuensinya jelas: tuntutan itu akan berbalik arah. Sebab, mahasiswa yang terdidik tidak akan mudah dibodohi.
Kampus semestinya menjadi ruang emansipasi, bukan penjara ide. Maka saya katakan, lawan segala bentuk arogansi kekuasaan akademik yang menindas mahasiswa. Hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa! Jadilah mahasiswa yang merdeka atas dirinya sendiri, bukan budak dari kepentingan akreditasi semu yang melupakan ruh intelektualitas.
Komentar
Posting Komentar