Jangan Biarkan Iba Menjadi Angin Lalu: Refleksi Kepedulian dari Orang Tua

Ketika seorang ibu bercerita tentang seorang kakek yang sakit dan harus berjuang sendirian tanpa perhatian anak-anaknya, hati siapa yang tidak terenyuh? Kisah sederhana di ruang tunggu rumah sakit itu membuka mata bahwa banyak orang tua yang diabaikan ketika mereka sudah rapuh. Padahal, orang tua pernah mengorbankan segalanya demi anaknya.

Sayangnya, rasa iba seringkali hanya muncul ketika kita melihat penderitaan orang lain dari jauh. Begitu kembali ke kehidupan sehari-hari, rasa itu menguap begitu saja. Lebih menyedihkan lagi, rasa peduli kadang tidak kita hadirkan kepada orang-orang terdekat: ayah, ibu, saudara, teman, atau pasangan. Mereka jarang kita tanyakan kabarnya, jarang kita dengarkan keluh kesahnya, seolah-olah kepedulian hanya pantas diberikan pada tragedi yang tampak di depan mata.

Setiap orang sebenarnya butuh didengar. Butuh ditanya apakah ia baik-baik saja, apakah ada yang bisa dibantu, atau sekadar ditenangkan dengan perhatian tulus. Kepedulian sejati tidak berhenti pada simpati sesaat, tetapi hadir dalam keseharian: menjawab panggilan, membalas pesan, menemani, dan memastikan orang terdekat kita tidak merasa sendirian.

Karena itu, jangan biarkan rasa iba hanya jadi angin lalu. Kepedulian sejati adalah kesediaan untuk hadir bersama—susah bersama, senang bersama—tanpa ada yang merasa lebih mulia atau lebih hina. Inilah makna sejati dari peduli dan lindungi, bukan sekadar slogan, tetapi laku hidup yang menjaga kita tetap manusiawi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritis di Tengah Krisis : APATIS

Mahasiswa, Akreditasi, dan Eksploitasi: Suara dari Kampus

Intelektual Organik dalam Menyuarakan Kaum Tertindas