Kritis di Tengah Krisis : APATIS
Di tengah hiruk-pikuk perubahan dan pergolakan sosial, saya justru merasakan kehampaan. Ketika kalian bersuara lantang di tengah kebobrokan, kalian pun—tanpa sadar atau tidak—telah menjadi bagian dari kebobrokan itu sendiri. Ada upaya menggiring opini, menari dalam konflik yang berakar dari kebencian dan haus validasi. Ini krisis, katanya. Tapi yang muncul bukanlah sikap kritis—melainkan apatisme yang menyaru sebagai kepedulian.
Ironisnya, mereka yang paling vokal menyuarakan kritik pun sering kali merupakan bagian dari permasalahan yang mereka kecam.
Kita bangga pada tradisi perpeloncoan, gemar merendahkan sesama atas nama "kedewasaan organisasi" atau "proses pengkaderan." Kita berlindung di balik kedok kritis, padahal sering kali hanya memupuk ego dan kekuasaan kecil. Padahal, kritik sejati lahir dari pendidikan dan pemahaman yang mendalam—bukan dari amarah tanpa arah.
Apa artinya mengagungkan Aswaja jika kita sendiri tak memahami nilai dan esensinya? Apa gunanya menyebut diri sebagai mahasiswa, agen perubahan (agent of change) dan pengontrol sosial (agent of control), jika kendali atas diri sendiri saja belum kita genggam?
Kita takut mengambil risiko. Takut berpihak. Takut menentukan arah. Suara-suara yang seharusnya menggema justru menjadi bisu. Kita memilih untuk diam, bersembunyi di balik alasan, menutup mata atas ketertindasan di sekitar kita, dan enggan turun langsung dalam perjuangan.
Inilah krisis terbesar kita hari ini: apatisme. Ia melumpuhkan semangat kritis dan partisipatif, membuat kita mati rasa di tengah gejolak yang seharusnya menjadi pemicu kebangkitan.
Namun, di balik luka-luka itu, masih ada harapan. Kegetiran dan sobekan-sobekan nurani adalah bagian dari lembar suci perjuangan. Jika kita mampu membaca dan memaknainya, ia bisa menjadi inspirasi untuk perubahan sejati.
Kini saatnya kita berani keluar dari zona nyaman yang bernama apatisme. Kritik harus dibangun atas dasar kesadaran, keberanian, dan komitmen. Bukan sekadar amarah, apalagi pencitraan. Hanya dengan itulah kita bisa benar-benar menjadi agen perubahan, membangun masa depan yang lebih adil dan bermakna.

Komentar
Posting Komentar