Tertulis, Maka Tak Lagi Perih

Bagian 1:“Di Antara Malam dan Cahaya Ponsel”

Malam itu dingin, bukan karena udara, tapi karena kata-kata yang tak pernah benar-benar sampai. Di balik pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup, Aira menatap layar ponselnya. Jari-jarinya menari pelan di atas papan ketik, menuliskan keluhan yang selama ini disimpannya sendiri.

"Ayah tadi ngomel lagi. HP terus, katanya. Nuntut terus."

Darin di seberang layar membalas dengan tenang, seperti biasanya. Ia tahu, Aira tak sedang mencari solusi. Ia hanya ingin dipahami, disayangi tanpa syarat.

"Memang kadang orang tua seperti itu. Mereka pikir kita masih anak kecil. Tapi kita sudah belajar menahan tangis dengan diam."

Aira tersenyum getir. Ia tahu Darin mengerti. Mereka berdua punya luka yang serupa—berasal dari rumah, tempat yang seharusnya paling aman. Tapi luka-luka itu tak pernah terlihat dari luar, tersembunyi di balik senyum dan tawa tipis yang dipaksakan.

"Aku bahkan lupa kapan terakhir kali bisa bicara jujur pada mereka,” tulis Aira. “Semua yang mereka lakukan, kupendam dalam-dalam. Seolah tak ada yang salah, padahal hatiku sudah lama retak.”

Darin diam beberapa detik, lalu balasannya muncul.

"Dulu, mas pernah... disuruh copot semua pakaian, berdiri di ruang tamu. Menangis sendiri, tak tahu kenapa. Masih SD, mungkin. Anak pertama memang sering jadi percobaan."

Mata Aira membasah. Ia membayangkan Darin kecil, menggigil dalam diam, tubuh kecilnya diselimuti rasa malu dan bingung yang tak bisa dijelaskan. Dan ia pun teringat masa kecilnya sendiri—tangan-tangan kasar, bentakan tanpa sebab, tangis dalam selimut.

Tapi di tengah luka itu, ada satu hal yang tumbuh perlahan: kasih sayang. Bukan dari rumah, tapi dari satu sama lain. Dari pesan-pesan larut malam, dari kata “sayang” yang ditulis tanpa ragu, dari pengakuan-pengakuan luka yang akhirnya menemukan tempat untuk pulang.

"Aku sayang mas. Tak bisa berkata apa-apa, hanya ingin memeluk semua luka itu agar berhenti berdarah."

Malam itu mereka bicara, bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan keheningan yang saling memahami. Di antara dingin malam dan cahaya ponsel yang redup, dua hati yang terluka saling menemukan hangat.

Dan untuk pertama kalinya, Aira percaya: mungkin, luka tak harus sembuh. Tapi setidaknya, ia tak lagi sendiri.

Bagian 2: “Tawa yang Tertahan”

Aira tak tahu pasti perasaan apa yang sedang melingkupi dadanya malam itu. Ada tawa yang ingin pecah, tapi juga tangis yang mendesak keluar dari sudut matanya.

"Antara pengen ketawa tapi sedih," tulisnya pelan.

Darin membalas cepat, seperti biasa.

"Ketawa kenapa, sayang?"

Aira menatap layarnya. “Lucu. Lucu membaca cerita diri sendiri. Seolah orang lain. Padahal itu aku. Itu luka yang pernah kuhindari.” Ia terdiam. Lalu tersenyum miris.

"Kamu sedang bercerita pada penulis buku, sayang..." jawab Darin disertai emoji yang mencoba mencairkan suasana. Tapi Aira tahu, di balik canda itu, ada keseriusan yang dalam.

"Kalau semua ini dijadikan novel, pasti tebal, Mas. Ber-episode."

Darin membalas: "Semoga bisa, ya. Inget mas buat masukin ini ke blog. Bisa jadi novel yang menarik."

Aira mengangguk dalam diam. Ia bisa membayangkan baris demi baris kisah mereka terpampang dalam sebuah buku. Bukan untuk terkenal, bukan untuk dikenang orang lain. Tapi untuk menyembuhkan—diri mereka, dan mungkin seseorang di luar sana yang merasa sendirian.

Mereka bicara panjang malam itu, tentang Kartini, tentang Jepara, tentang bagaimana ketertindasan bisa jadi bara perjuangan.

"Jangan berhenti belajar dalam kondisi apapun," kata Darin. "Tadi pengennya belajar bercanda, malah belajar beneran jadinya."

Aira menangis. Bukan karena sedih, tapi karena merasa dilihat. Dipeluk, bahkan dari jauh.

"Mas cuma berusaha meluruskan alur ceritanya," tulis Darin, "biar pembaca nggak salah paham."

Aira membalas satu kata yang penuh rasa: "Massss..."

Lalu... "Sayang mas..." disusul tangisan dalam bentuk emoji yang terlalu banyak untuk dihitung.

Dan malam itu berubah menjadi ruang belajar yang lembut. Bukan tentang matematika atau sejarah, tapi tentang mengenali diri sendiri. Tentang menyadari bahwa kesedihan bisa dituliskan. Dan ketika ditulis, ia tak lagi hanya milik satu orang—ia menjadi milik dunia. Menjadi pengingat. Menjadi pelipur.

"Ketika kamu menuliskan rasa sakitmu pada sebuah karya," tulis Darin, "kamu tidak hanya memberitahu orang yang kamu maksud. Kamu memberi tahu dunia."

Aira menahan air mata. Dunia telah memberinya banyak alasan untuk menyerah, tapi malam itu—lewat Darin—ia menemukan satu alasan kuat untuk tetap percaya: cinta yang menyembuhkan, lewat kata-kata.

"Walau keadaanku seperti ini," tulisnya, "aku tetap bersyukur. Tuhan mengirimkan orang hebat untuk menemaniku melewati semuanya."

Dan untuk pertama kalinya, cerita mereka tak hanya tentang luka, tapi juga tentang harapan. Mereka tahu, cinta yang tumbuh dari reruntuhan luka adalah cinta yang kuat. Cinta yang tidak hanya mengobati, tapi juga melahirkan.

Malam itu, mereka tidak hanya bicara. Mereka menulis takdir mereka sendiri—di layar kecil yang menyala, di antara dua hati yang saling menjaga.

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-9337557038197568"

     crossorigin="anonymous"></script>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritis di Tengah Krisis : APATIS

Mahasiswa, Akreditasi, dan Eksploitasi: Suara dari Kampus

Intelektual Organik dalam Menyuarakan Kaum Tertindas