Intelektual Organik dalam Menyuarakan Kaum Tertindas
Refleksi Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional
Pada tanggal 1 Mei 1889, dalam Kongres Buruh Dunia di Paris, disepakati bahwa 1 Mei akan diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Penetapan ini bukan sekadar seremonial tahunan, tetapi menjadi simbol perlawanan kaum pekerja terhadap sistem yang menindas.
Dalam konteks Indonesia, istilah "buruh" sendiri berasal dari bahasa lisan petani Jawa dan dalam pendekatan sosiologis diidentifikasi dengan konsep proletariat — suatu kelas pekerja yang tidak memiliki alat produksi dan hanya menjual tenaga kerja sebagai satu-satunya komoditas. Hubungan antara buruh dan majikan bersifat konfliktual, mencerminkan pertentangan kepentingan antara kelas pekerja dan pemilik modal.
Pendidikan dalam Jeratan Hegemoni
Namun, perjuangan tidak akan mampu bergerak hanya dengan semangat, melainkan juga memerlukan kesadaran. Di sinilah peran kaum intelektual menjadi sangat krusial. Mahasiswa, akademisi, dan kaum terdidik harus mampu menjadi agen penyadaran, refleksi, serta memiliki keberanian untuk memimpin perubahan sosial. Mereka harus menggunakan pengetahuan untuk membebaskan, bukan untuk menundukkan, menjinakkan, atau menghegemoni masyarakat. Kaum intelektual memiliki tanggung jawab moral untuk memihak kepada kaum tertindas.
Ironisnya, Hari Pendidikan Nasional yang jatuh sehari setelah Hari Buruh, mengundang refleksi: apakah pendidikan hari ini benar-benar membebaskan atau justru dijinakkan oleh sistem kapitalistik untuk mencetak tenaga kerja yang patuh?
Pendidikan seharusnya menjadi alat pembebasan, namun dalam banyak kasus, ia telah direduksi menjadi alat produksi tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan pasar. Ini merupakan bentuk hegemoni yang terstruktur dan sistematis, di mana nilai-nilai kapitalisme diserap tanpa disadari oleh peserta didik. Kapitalisme dalam pendidikan tidak hanya dimiliki oleh para pemodal eksternal, tetapi juga diperpanjang oleh para pelaku internal, termasuk pendidik itu sendiri. Akibatnya, mahasiswa terperangkap dalam logika pasar. Mereka dibentuk untuk menjadi tenaga kerja, bukan subjek perubahan. Perubahan sosial hanya dapat dicapai ketika subjek dididik untuk menyadari realitas dan bertindak untuk mengubahnya.
Intelektual Organik dan Peranannya dalam Perubahan Sosial
Dalam kerangka ini, pendidikan gagal melahirkan intelektual organik yang kritis dan melawan. Sebaliknya, pendidikan justru menghasilkan teknokrat yang tunduk, bukan pemikir yang menggugat. Di sinilah letak pentingnya kesadaran kritis, karena perubahan sosial ditentukan oleh sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang berimplikasi pada kesadaran transformasi. Mahasiswa adalah bagian dari rakyat tertindas yang harus berjalan seiring dalam memperjuangkan tatanan sosial yang adil.
Intelektual organik bukan hanya mereka yang pintar, tetapi mereka yang berpihak. Keberpihakan ini hanya berarti jika ditujukan kepada mereka yang tertindas, bukan kepada sistem yang menindas.
Penutup: Gaungkan Perjuangan Kelas
Kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap penindasan, baik yang bersifat personal maupun yang terstruktur. Serikat buruh, mahasiswa, dan intelektual progresif harus bergandengan tangan untuk menyuarakan ketertindasan. Jangan biarkan pendidikan menjadi alat pelanggeng status quo. Saatnya menghidupkan kembali semangat perjuangan kelas — karena jika tidak, kita akan hanyut dalam sistem yang terus menindas secara halus namun brutal.

Komentar
Posting Komentar