Antara Opsi, Emosi, dan Harapan: Refleksi dari Rapat Tertinggi Organisasi

Rapat tertinggi organisasi, yang dilaksanakan pada 23–24 Mei, kembali menghadirkan atmosfer yang begitu intens. Sebagai peserta penuh tahun ini, aku membawa semangat berbeda dibanding tahun sebelumnya saat masih menjadi pimpinan sidang. Pengalaman menjadi pemimpin forum di masa lalu memberiku bekal untuk memahami dinamika ruang sidang: ketegangan, drama, dan tarik-menarik kepentingan yang kerap mewarnainya. Tapi kali ini, aku berdiri dari sisi yang berbeda—bukan lagi sebagai fasilitator, melainkan sebagai pengusul gagasan dan pengawal jalannya arah.

Dalam forum ini, kita telah menyepakati bahwa minimal dua opsi dan maksimal tiga afirmasi dapat diajukan dalam satu pembahasan. Namun, praktik di lapangan tak selalu setia pada kesepakatan. Opsi dan afirmasi yang kuajukan—berlandaskan argumentasi logis dan pengalaman empiris—tidak diakomodasi. Bahkan ketika aku menegaskan bahwa pengalaman empiris tidak dapat diperdebatkan, tetap saja keraguan datang dari peserta lainnya. Sikap tidak percaya inilah yang memicu kekecewaan. Ketika ketidakpercayaan menjadi dominan, dialog yang seharusnya menjadi alat pencarian kebenaran berubah menjadi adu gengsi tanpa arah.

Kritik paling tajam tertuju pada pimpinan sidang yang menurutku gagal menjaga netralitas. Keputusan yang diambil tergesa-gesa, mengabaikan dinamika forum yang masih hidup. Di titik ini, aku terpaksa bereaksi tegas—menggerakkan kursi sebagai bentuk peringatan, agar forum tidak jatuh dalam otoritarianisme prosedural. Ketegangan mencuat, namun pada akhirnya forum mulai menemukan iramanya kembali. Empat organisasi menyampaikan pandangan umum, disusul dua organisasi lain. Sidang LPJ pun berlangsung relatif lancar setelah itu.

Namun, persoalan belum selesai. Jelang pemilihan ketua, pasal terkait status kandidat yang menjabat sebagai ketua partai kampus memantik perdebatan baru. Para peserta peninjau yang seharusnya tidak memiliki hak suara, justru mencoba mempengaruhi arah diskusi. Beruntung, peserta penuh berdiri teguh, menjawab dengan tegas setiap opini yang keluar jalur. Meski lelah menyergap sejak Sabtu pagi hingga Subuh di hari Minggu, kami terus bertahan demi memastikan keputusan yang lahir dari forum ini tetap bermartabat.

Akhirnya, forum pun ditutup dengan haru dan rasa lega. Tangis pecah—bukan hanya karena lelah, tetapi karena segala sesak dan ketegangan yang berhasil dilalui bersama. Namun semua ini bukanlah akhir. Ini hanyalah awal dari satu kepengurusan baru. Kita berharap bahwa nahkoda baru dapat membaca pengalaman ini sebagai pelajaran, bukan sekadar sebagai beban sejarah. Agar organisasi tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh: lebih dewasa, lebih adil, dan lebih manusiawi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritis di Tengah Krisis : APATIS

Mahasiswa, Akreditasi, dan Eksploitasi: Suara dari Kampus

Intelektual Organik dalam Menyuarakan Kaum Tertindas