Kembalilah dari Tiada: Refleksi Dua Hari Terakhir


Dua hari terakhir ini adalah ruang yang aneh—seperti melangkah keluar dari cahaya, masuk ke lorong yang gelap, lalu sadar bahwa cahaya yang selama ini kita kejar hanyalah pantulan kaca yang retak. Dalam sunyi, aku kembali dari tiada menuju tiada, dan justru menemukan kebahagiaan dalam ketiadaan itu. Sebab di sanalah aku berjumpa dengan orang-orang malang, mereka yang hidupnya diperas oleh kenyataan palsu, namun masih menyimpan bara api di dadanya. Kami generasi baru, bukan untuk mewarisi kebodohan generasi tua yang mengacau, tapi untuk menguburnya.

Kami ditugaskan bukan oleh tuhan atau sejarah yang berbaik hati, melainkan oleh penderitaan yang memanggil kami. Kami akan menjadi hakim atas segala bentuk eksploitasi mahasiswa—hakim yang tidak buta oleh simbol, tidak tuli oleh pujian, dan tidak lumpuh oleh rasa takut. Kami menolak tunduk kepada realitas palsu yang diciptakan oleh para anjing konstitusi; mereka yang menggenggam pena hukum untuk mengiris leher rakyatnya sendiri.

Dan ketika jalan kami ditutup rapat, kami siap mengangkat tangan bukan untuk menyerah, tapi untuk memberi tanda bahwa besok pagi perang akan dimulai. Perang yang tidak selalu bersenjata, tetapi pasti berdarah; perang yang mungkin tidak membunuh tubuh, tapi membinasakan peran-peran palsu yang mencumbu intelektual palsu—mereka yang sibuk memijat kenyalnya simbol, menjilat demi kekuasaan, menusuk demi kepentingan. Dua hari terakhir ini mengajarkan satu hal: dunia ini tidak kekurangan kebohongan, tapi kekurangan keberanian untuk membongkarnya. Dan keberanian itu kini sudah di tangan kami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritis di Tengah Krisis : APATIS

Mahasiswa, Akreditasi, dan Eksploitasi: Suara dari Kampus

Intelektual Organik dalam Menyuarakan Kaum Tertindas