“Nalar Sosial dari Bacaan ABC”

Apakah pendidikan merupakan bagian dari industri pabrik? Pertanyaan ini penting ketika kita melihat bagaimana manusia membentuk pengetahuan dan masyarakatnya. Jika menengok ke masa lalu, para nabi terdahulu tidak bergumul dengan isu seperti perbudakan atau ketidaksetaraan sosial secara sistematis. Fokus utama mereka adalah menuntun manusia agar percaya kepada Tuhan. Namun ketika Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, risalah yang dibawa bukan hanya kabar gembira, tetapi juga proyek besar penyempurnaan akhlak manusia. Di sinilah gagasan tentang kesetaraan, penghapusan perbudakan, dan penghormatan terhadap perempuan mulai menguat. Saya sering menyebut kondisi pra-Islam itu sebagai keadaan jahil, fakir, dan kafir—dan semangat Nabi Muhammad adalah membebaskan manusia dari ketiganya.

Sosialisme kemudian muncul jauh setelah itu, sebagai produk dari perkembangan kapitalisme. Ketika Revolusi Industri dan Revolusi Prancis mengguncang Eropa, terutama pada momentum Rusia tahun 1917, kelas pekerja mulai menyadari dampak kejam kapitalisme yang mengambil tenaga kerja, melahirkan eksploitasi, dan menciptakan ketimpangan massif. Dari situlah lahir gagasan bahwa masyarakat ideal perlu dibayangkan ulang: seperti apa tatanan yang lebih adil? Bagaimana manusia bisa hidup tanpa tertindas oleh kekuatan ekonomi? Pertanyaan-pertanyaan ini memantik lahirnya sosialisme modern.

Dalam pencarian masyarakat ideal itu, muncul konsep “utopia”—sebuah gambaran pulau fiktif yang ditulis Sir Thomas More pada tahun 1516. Utopia bukan sekadar cerita, melainkan proyek moral untuk menampilkan cara hidup yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Masalahnya, realitas hari ini sangat jauh dari utopia. Banyak orang bahkan masih berjuang memenuhi perutnya sendiri, terlebih di negara dengan kemiskinan ekonomi dan minimnya kapasitas hidup. Di tengah kondisi seperti ini, sosialisme menegaskan pemisahan yang tegas antara agama dan ruang publik; agama dianggap sepenuhnya urusan personal dan tidak pantas mencampuri sekolah atau ranah umum.

Namun muncul pertanyaan penting: siapa yang akan memikirkan perbaikan masyarakat, mengatasi ketimpangan, dan memperbarui struktur sosial di Nusantara? Jawabannya seharusnya adalah kita—kaum muda terpelajar, kaum pergerakan, mereka yang mengaku penggerak perubahan. Tapi itu semua hanya mungkin jika kita tidak terjebak ego pribadi atau kepentingan sempit. Menariknya, sosialisme pada awal kemunculannya tidak langsung menekankan tindakan politik besar atau revolusi berdarah. Yang mereka lakukan adalah membangun komunitas, berorganisasi, dan mempraktikkan nilai keadilan, kebajikan, serta kecerdasan. Dari proses evolutif itulah lahir masyarakat yang memiliki cita-cita bersama. Kesadaran kolektif ini kemudian mewujud melalui tindakan bersama — inilah gambaran dari sosialisme utopis.

A ( Asal Usul Gagasan)
B ( Basis Teori atau Cara Kerja)
C ( Contoh Praktik)
🧐🥳🤔

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritis di Tengah Krisis : APATIS

Mahasiswa, Akreditasi, dan Eksploitasi: Suara dari Kampus

Intelektual Organik dalam Menyuarakan Kaum Tertindas