KETAKUTAN Lahir Dari Pengetahuan Yang (CACAT)

Takut, pada dasarnya, lahir dari dua sumber: rasionalitas dan pengalaman. Ia bisa muncul dari pikiran yang membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk, atau dari pengalaman—baik yang kita alami sendiri maupun yang kita dengar dari orang lain. Dalam banyak kasus, rasa takut sesungguhnya muncul karena pengetahuan kita setengah-setengah, tidak utuh, dan belum lengkap. Kekurangan pengetahuan itulah yang kemudian menciptakan kekacauan dalam persepsi.

Saya pernah mengalaminya dalam sebuah forum politik. Saya bertanya karena memang ingin bertanya, bukan karena saya memahami isu tersebut secara mendalam. Dalam forum itu saya berbicara mengenai peran mahasiswa dalam melakukan kajian intelektual—khususnya pentingnya transparansi data dari DPR. Namun saya dikonter: “Data apa? Informasi apa? Anggaran yang mana?” Di momen itu saya blunder. Bukan karena salah, tetapi karena saya tidak siap, sementara forum sudah tidak kondusif karena banyak peserta ingin pulang. Tubuh saya mulai berkeringat; patos bekerja kuat di situ, sebagaimana dijelaskan Aristoteles mengenai emosi dalam retorika. Dan, benar seperti kata Francis Bacon: knowledge is power. Kekurangan pengetahuan membuat saya rapuh bahkan sebelum saya mengeluarkan argumen.

Ketakutan sering kali muncul dari pengetahuan kita yang tidak utuh. Sama seperti mahasiswa yang takut IPK buruk, takut tidak memenuhi batas kehadiran 75%, atau takut tidak lulus tepat waktu. Ketakutan-ketakutan seperti itu lahir dari cara pandang yang sempit tentang pendidikan. Bila mereka mengetahui sejarah mahasiswa, tentang kebijakan NKK/BKK, tentang sistem SKS yang pernah digunakan untuk menjinakkan gerakan kritis di era Soeharto, mereka mungkin akan menyadari bahwa masa depan tidak sesempit angka IPK atau cepatnya kelulusan. Pengetahuan yang lebih luas membuat pikiran lebih terbuka, dan ketakutan menjadi lebih kecil.

Sering kali pengetahuan kita berhenti pada yang “itu-itu saja”. Kita takut ini, takut itu, padahal dunia penuh kemungkinan lain. Ketakutan juga bisa lahir dari probabilitas yang kita bayangkan, dari hipotesa-hipotesa yang bahkan belum diuji. Ada pula orang yang hanya mengandalkan pengalaman empiris—apa yang ia lihat di lapangan. Tetapi ketika argumennya ditolak oleh kerangka keilmuan, ia menjadi gamang karena pengetahuan yang ia punya tidak cukup untuk membantu ia meyakinkan audiens.

Di titik itulah saya bertanya pada diri sendiri: “Apa yang sebenarnya membuatmu takut?” Jawabannya sederhana: karena saya tidak menguasai apa yang saya bicarakan. Maka langkah yang saya ambil adalah memperkuat pengetahuan saya, memperbanyak bacaan, dan mempersiapkan diri sebelum berbicara di forum-forum intelektual.

Pada akhirnya ketakutan adalah naluri manusiawi. Tetapi masalahnya bukan pada takutnya, melainkan pada apa yang melahirkan rasa takut tersebut. Bayangkan ketika kita melihat bayangan di kegelapan dan bulu kuduk kita berdiri. Kita langsung menafsirkannya sebagai hantu. Mengapa? Karena pengetahuan kita soal itu hanya berkisar pada logika mistis. Kita lupa bahwa ada banyak penjelasan lain—optik, suara, sugesti, atau psikologi. Tetapi karena pengetahuan kita sempit, imajinasi liar mengambil alih.

Jadi, sering kali bukan “hantunya” yang menakutkan kita, melainkan pengetahuan kita yang kurang. Atau lebih buruk lagi, imajinasi kita yang dibiarkan tumbuh tanpa kendali.

Lawan Kebodohan kita kawan... Bagaimana cara nya? baca lagi deh klo masih Loading( ! WARNING !)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritis di Tengah Krisis : APATIS

Mahasiswa, Akreditasi, dan Eksploitasi: Suara dari Kampus

Intelektual Organik dalam Menyuarakan Kaum Tertindas