Tentang Asumsi, Logika, dan Kenyataan

Berpikir tentang bayang-bayang pendapat, asumsi, dan opini pada dasarnya adalah berbicara tentang apa yang kita lihat melalui cahaya penglihatan kita. Mata bekerja dengan cahaya dan objek; namun cahaya bisa kurang terang, terlalu terang, atau bahkan menipu. Objek pun bisa kabur, tidak jelas, atau tidak kita ketahui sama sekali. Kita membutuhkan cahaya mentari yang abadi—meski pada kenyataannya matahari hanya hadir di pagi hingga menjelang petang. Malam hari bukanlah waktu terbaik untuk melihat; penglihatan menjadi kabur kecuali dibantu cahaya-cahaya sementara yang tidak abadi dan bisa padam kapan saja.

Kita terlalu sering mengira, mengukur, dan menduga—semua itu hanyalah hipotesis yang belum tentu benar atau salah, hanya kemungkinan. Logika kita pun kerap cacat ketika membuat kesimpulan. Misalnya:
Premis A: hujan membuat baju basah.
Premis B: baju basah jika hujan.
Kesimpulan yang benar adalah: baju basah bisa saja disebabkan hujan, tetapi bisa juga karena disiram seseorang atau sebab lainnya. Namun logika kita sering tergesa-gesa, mengambil kesimpulan keliru: “baju basah berarti hujan.”

Setelah itu, saya ingin berbicara tentang keharusan dan kenyataan. Apakah kita sudah memahami keharusan untuk hidup—keharusan untuk bekerja, berpikir, berjalan? Kenyataannya, keharusan sering tidak bertemu dengan realitas. Dari ketidaksesuaian itulah muncul masalah yang menuntut kita untuk menganalisisnya. Lalu, paradigma apa yang kita gunakan? Pisau analisis apa yang kita pilih untuk menyelesaikan masalah? Sudut pandang apa yang kita pakai? Atau jangan-jangan kita melihat segalanya secara kabur—dengan kemunafikan, dengan kelengahan, bahkan dengan mata yang kelilipan oleh opini dan asumsi kita sendiri.

Hhhhhh…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritis di Tengah Krisis : APATIS

Mahasiswa, Akreditasi, dan Eksploitasi: Suara dari Kampus

Intelektual Organik dalam Menyuarakan Kaum Tertindas