Postingan

Perut💸 Menentukan Cara Berpikir🔋

Ada hal yang sulit diterima ketika berdiskusi dengan orang-orang yang kebutuhan perutnya saja belum tercukupi. Ada argumen tentang bagaimana meningkatkan bisnis atau mengembangkan ide, tetapi mereka sendiri masih lapar atau pikirannya hanya fokus pada perut. Maka sulit bagi mereka untuk memikirkan ide-ide baru. Selain itu, masih banyak yang tidak mau membongkar keinginan untuk kaya dan hidup sejahtera sendiri. Mereka ingin menguasai alat produksi, ingin menggaji orang lain, ingin menjadi manajer atau bos karena merasa memiliki pendidikan yang lebih tinggi, tetapi pada akhirnya hanya haus kekuasaan dan memikirkan dirinya sendiri. Mungkin kita perlu belajar hal-hal di bawah ini, karena saya merasa sulit menjelaskan sosialisme kepada orang yang cara berpikirnya masih kaku. Sosialisme ilmiah membahas materialisme historis dan dialektis. Pertama, materialisme historis melihat bahwa materi, uang, ekonomi, dan kenyataan hidup adalah hal yang membentuk sejarah. Pemegang alat produksi dan siste...

Ketika Idealisme Tersandung Realitas: Membaca Animal Farm dan Brook Farm

Gambar
Setiap impian tentang kesetaraan selalu lahir dari luka kolektif. Manusia atau dalam fiksi Orwell, para hewan memandang struktur yang menindas dan bermimpi tentang dunia yang lebih adil. Namun, sejarah sering menunjukkan bahwa idealisme yang paling mulia pun bisa berubah arah ketika berhadapan dengan kekuasaan dan realitas ekonomi. Dua kisah berbeda, Animal Farm dan Brook Farm, memperlihatkan pola yang sama: betapa rapuhnya cita-cita ketika struktur pendukungnya tidak disiapkan dengan matang. Dalam Animal Farm, George Orwell menggunakan peternakan milik Tuan Jones sebagai alegori tentang revolusi dan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip awal. Hewan-hewan yang bangkit melawan manusia memimpikan masyarakat tanpa eksploitasi. Tetapi begitu kekuasaan beralih, para babi yang digambarkan paling cerdas perlahan membangun hierarki baru. Perdebatan antara Snowball dan Napoleon, proyek kincir angin, dan serangkaian manipulasi terhadap hewan lain menunjukkan bagaimana revolusi dapat...

“Nalar Sosial dari Bacaan ABC”

Gambar
Apakah pendidikan merupakan bagian dari industri pabrik? Pertanyaan ini penting ketika kita melihat bagaimana manusia membentuk pengetahuan dan masyarakatnya. Jika menengok ke masa lalu, para nabi terdahulu tidak bergumul dengan isu seperti perbudakan atau ketidaksetaraan sosial secara sistematis. Fokus utama mereka adalah menuntun manusia agar percaya kepada Tuhan. Namun ketika Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, risalah yang dibawa bukan hanya kabar gembira, tetapi juga proyek besar penyempurnaan akhlak manusia. Di sinilah gagasan tentang kesetaraan, penghapusan perbudakan, dan penghormatan terhadap perempuan mulai menguat. Saya sering menyebut kondisi pra-Islam itu sebagai keadaan jahil, fakir, dan kafir—dan semangat Nabi Muhammad adalah membebaskan manusia dari ketiganya. Sosialisme kemudian muncul jauh setelah itu, sebagai produk dari perkembangan kapitalisme. Ketika Revolusi Industri dan Revolusi Prancis mengguncang Eropa, terutama pada momentum Rusia ...

KETAKUTAN Lahir Dari Pengetahuan Yang (CACAT)

Gambar
Takut, pada dasarnya, lahir dari dua sumber: rasionalitas dan pengalaman. Ia bisa muncul dari pikiran yang membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk, atau dari pengalaman—baik yang kita alami sendiri maupun yang kita dengar dari orang lain. Dalam banyak kasus, rasa takut sesungguhnya muncul karena pengetahuan kita setengah-setengah, tidak utuh, dan belum lengkap. Kekurangan pengetahuan itulah yang kemudian menciptakan kekacauan dalam persepsi. Saya pernah mengalaminya dalam sebuah forum politik. Saya bertanya karena memang ingin bertanya, bukan karena saya memahami isu tersebut secara mendalam. Dalam forum itu saya berbicara mengenai peran mahasiswa dalam melakukan kajian intelektual—khususnya pentingnya transparansi data dari DPR. Namun saya dikonter: “Data apa? Informasi apa? Anggaran yang mana?” Di momen itu saya blunder. Bukan karena salah, tetapi karena saya tidak siap, sementara forum sudah tidak kondusif karena banyak peserta ingin pulang. Tubuh saya mulai berkeringat; patos be...

Tentang Asumsi, Logika, dan Kenyataan

Berpikir tentang bayang-bayang pendapat, asumsi, dan opini pada dasarnya adalah berbicara tentang apa yang kita lihat melalui cahaya penglihatan kita. Mata bekerja dengan cahaya dan objek; namun cahaya bisa kurang terang, terlalu terang, atau bahkan menipu. Objek pun bisa kabur, tidak jelas, atau tidak kita ketahui sama sekali. Kita membutuhkan cahaya mentari yang abadi—meski pada kenyataannya matahari hanya hadir di pagi hingga menjelang petang. Malam hari bukanlah waktu terbaik untuk melihat; penglihatan menjadi kabur kecuali dibantu cahaya-cahaya sementara yang tidak abadi dan bisa padam kapan saja. Kita terlalu sering mengira, mengukur, dan menduga—semua itu hanyalah hipotesis yang belum tentu benar atau salah, hanya kemungkinan. Logika kita pun kerap cacat ketika membuat kesimpulan. Misalnya: Premis A: hujan membuat baju basah. Premis B: baju basah jika hujan. Kesimpulan yang benar adalah: baju basah bisa saja disebabkan hujan, tetapi bisa juga karena disiram seseorang atau sebab ...

Jangan Biarkan Iba Menjadi Angin Lalu: Refleksi Kepedulian dari Orang Tua

Ketika seorang ibu bercerita tentang seorang kakek yang sakit dan harus berjuang sendirian tanpa perhatian anak-anaknya, hati siapa yang tidak terenyuh? Kisah sederhana di ruang tunggu rumah sakit itu membuka mata bahwa banyak orang tua yang diabaikan ketika mereka sudah rapuh. Padahal, orang tua pernah mengorbankan segalanya demi anaknya. Sayangnya, rasa iba seringkali hanya muncul ketika kita melihat penderitaan orang lain dari jauh. Begitu kembali ke kehidupan sehari-hari, rasa itu menguap begitu saja. Lebih menyedihkan lagi, rasa peduli kadang tidak kita hadirkan kepada orang-orang terdekat: ayah, ibu, saudara, teman, atau pasangan. Mereka jarang kita tanyakan kabarnya, jarang kita dengarkan keluh kesahnya, seolah-olah kepedulian hanya pantas diberikan pada tragedi yang tampak di depan mata. Setiap orang sebenarnya butuh didengar. Butuh ditanya apakah ia baik-baik saja, apakah ada yang bisa dibantu, atau sekadar ditenangkan dengan perhatian tulus. Kepedulian sejati tidak berhenti p...

Mahasiswa, Akreditasi, dan Eksploitasi: Suara dari Kampus

Sebagai seorang jurnalis pengamat kampus, saya tidak bisa menutup mata terhadap fenomena yang sedang terjadi di lingkungan akademik kita. Dalam sebuah forum himpunan mahasiswa program studi (HMPS), saya melihat jelas bagaimana PEMBATASAN kreativitas mahasiswa, khususnya jika aktivitas itu tidak bersinggungan dengan kepentingan akreditasi. Kreativitas mahasiswa seakan hanya diizinkan bila ia mampu menjadi amunisi dalam mengejar peringkat institusi. Sementara itu, ruang-ruang dialektika, kesadaran kritis, dan pengembangan intelektual yang seharusnya menjadi jantung kehidupan kampus justru dipinggirkan. Ironi terbesar adalah ketika pimpinan kampus menuntut mahasiswa untuk membuktikan prestasi—baik di tingkat nasional maupun internasional—namun mengabaikan penyediaan fasilitas yang memadai. Mahasiswa didorong untuk menjadi “mesin prestasi” demi akreditasi, tetapi pada saat yang sama mereka dieksploitasi tanpa dukungan yang layak. Prestasi non-akademik dianggap tidak relevan, mahasiswa krit...