Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2025

🧠 Prestasi sebagai Perbudakan: Kampus, Kapitalisme Akademik, dan Matinya Intelektual Organik

 Meritokrasi sering digembar-gemborkan sebagai sistem adil: siapa yang berusaha, dia yang berhasil. Namun, di balik gemerlap prestasi akademik, tersembunyi wajah lain dari meritokrasi—ia justru memperbudak pemenangnya. Mahasiswa “berprestasi” terus didorong ikut lomba, menulis artikel, dan tampil di berbagai forum. Bukan lagi demi belajar atau berkembang, tetapi demi menjaga posisi di etalase institusi. Di kampus, terutama kampus swasta yang tengah mengejar akreditasi, mahasiswa berprestasi dijadikan alat promosi. Mereka dihadirkan sebagai bukti keberhasilan sistem pendidikan: menjadi duta kampus, wajah brosur, dan pengisi profil akreditasi. Tapi sesungguhnya, mereka bukan lagi subjek yang belajar, melainkan objek yang dijual. Kampus memanen nama mereka, tapi tak pernah benar-benar membebaskan mereka. 🏭 Kampus sebagai Alat Produksi Hari ini, kampus menjelma menjadi pabrik: tempat produksi tenaga kerja yang siap pakai. Mereka tidak mencetak manusia bebas, tetapi manusia patuh da...

Antara Opsi, Emosi, dan Harapan: Refleksi dari Rapat Tertinggi Organisasi

Rapat tertinggi organisasi, yang dilaksanakan pada 23–24 Mei, kembali menghadirkan atmosfer yang begitu intens. Sebagai peserta penuh tahun ini, aku membawa semangat berbeda dibanding tahun sebelumnya saat masih menjadi pimpinan sidang. Pengalaman menjadi pemimpin forum di masa lalu memberiku bekal untuk memahami dinamika ruang sidang: ketegangan, drama, dan tarik-menarik kepentingan yang kerap mewarnainya. Tapi kali ini, aku berdiri dari sisi yang berbeda—bukan lagi sebagai fasilitator, melainkan sebagai pengusul gagasan dan pengawal jalannya arah. Dalam forum ini, kita telah menyepakati bahwa minimal dua opsi dan maksimal tiga afirmasi dapat diajukan dalam satu pembahasan. Namun, praktik di lapangan tak selalu setia pada kesepakatan. Opsi dan afirmasi yang kuajukan—berlandaskan argumentasi logis dan pengalaman empiris—tidak diakomodasi. Bahkan ketika aku menegaskan bahwa pengalaman empiris tidak dapat diperdebatkan, tetap saja keraguan datang dari peserta lainnya. Sikap tidak percaya...

Titik, Koma, dan Organisasi: Menafsirkan Perjalanan Bersama

Malam ini aku termenung, menyaksikan dua sahabat—Rey dan Roy—pulang bersama namun menuju rumah yang berbeda. Satu momen sederhana yang menyisakan banyak tanya dalam benakku. Kami baru saja membicarakan hidup dengan segala tanda bacanya: tanda tanya yang menggugat, seru yang meledak-ledak, titik yang mengakhiri, dan koma yang memberi jeda. Obrolan itu bukan sekadar canda, tapi semacam refleksi tentang organisasi, tentang kebersamaan, tentang jalan yang sering kita tempuh tanpa sempat memahami arah. Barangkali organisasi pun tak jauh berbeda. Ia adalah rumah besar tempat kita bertemu, bertumbuh, dan saling bertukar pikiran. Namun dalam rumah itu, tidak semua orang menuju ruang yang sama. Ada yang berangkat dari idealisme, ada yang sekadar singgah. Ada yang berjalan bersama, tapi nyatanya tak searah. Perbedaan tujuan dan irama langkah kerap menguji kesabaran, bahkan memaksa kita belajar: bahwa kedekatan tak selalu berarti kesamaan arah. Percakapan kami yang tertunda malam itu seperti gamb...

Antara Cinta dan Tanggung Jawab: Refleksi Seorang Ketua Organisasi

Namaku Johan, dan tahun ini aku diberi amanah sebagai ketua panitia PKKMB di kampus. Sebuah tanggung jawab yang tidak ringan, apalagi diiringi dengan peran ganda sebagai ketua organisasi. Dalam pusaran aktivitas yang padat dan tuntutan untuk tampil profesional, aku mendapati diriku harus membuat pilihan-pilihan yang tidak mudah—termasuk dalam urusan perasaan. Aku punya seorang kekasih yang, dengan penuh kesadaran, aku kesampingkan sejenak demi kelancaran roda organisasi yang aku pimpin. Pertanyaannya kemudian muncul: logiskah jika aku memilih untuk tidak menampakkan kekasihku di hadapan teman-teman organisasi? Aku ingin bersikap profesional, menjaga agar relasi personal tidak memengaruhi dinamika kerja kolektif. Namun, aku menyadari bahwa apa yang bagi seorang laki-laki terasa sebagai bentuk profesionalitas, bisa jadi ditangkap berbeda oleh perempuan yang mendambakan pengakuan dan kejelasan dalam hubungan. Sebagai ketua, waktu adalah sumber daya yang selalu terasa kurang. Jadwal rapat,...