Tertulis, Maka Tak Lagi Perih
Bagian 1:“Di Antara Malam dan Cahaya Ponsel” Malam itu dingin, bukan karena udara, tapi karena kata-kata yang tak pernah benar-benar sampai. Di balik pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup, Aira menatap layar ponselnya. Jari-jarinya menari pelan di atas papan ketik, menuliskan keluhan yang selama ini disimpannya sendiri. "Ayah tadi ngomel lagi. HP terus, katanya. Nuntut terus." Darin di seberang layar membalas dengan tenang, seperti biasanya. Ia tahu, Aira tak sedang mencari solusi. Ia hanya ingin dipahami, disayangi tanpa syarat. "Memang kadang orang tua seperti itu. Mereka pikir kita masih anak kecil. Tapi kita sudah belajar menahan tangis dengan diam." Aira tersenyum getir. Ia tahu Darin mengerti. Mereka berdua punya luka yang serupa—berasal dari rumah, tempat yang seharusnya paling aman. Tapi luka-luka itu tak pernah terlihat dari luar, tersembunyi di balik senyum dan tawa tipis yang dipaksakan. "Aku bahkan lupa kapan terakhir kali bisa bicara jujur pada ...