Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Tertulis, Maka Tak Lagi Perih

Bagian 1:“Di Antara Malam dan Cahaya Ponsel” Malam itu dingin, bukan karena udara, tapi karena kata-kata yang tak pernah benar-benar sampai. Di balik pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup, Aira menatap layar ponselnya. Jari-jarinya menari pelan di atas papan ketik, menuliskan keluhan yang selama ini disimpannya sendiri. "Ayah tadi ngomel lagi. HP terus, katanya. Nuntut terus." Darin di seberang layar membalas dengan tenang, seperti biasanya. Ia tahu, Aira tak sedang mencari solusi. Ia hanya ingin dipahami, disayangi tanpa syarat. "Memang kadang orang tua seperti itu. Mereka pikir kita masih anak kecil. Tapi kita sudah belajar menahan tangis dengan diam." Aira tersenyum getir. Ia tahu Darin mengerti. Mereka berdua punya luka yang serupa—berasal dari rumah, tempat yang seharusnya paling aman. Tapi luka-luka itu tak pernah terlihat dari luar, tersembunyi di balik senyum dan tawa tipis yang dipaksakan. "Aku bahkan lupa kapan terakhir kali bisa bicara jujur pada ...

Kritis di Tengah Krisis : APATIS

Gambar
Di tengah hiruk-pikuk perubahan dan pergolakan sosial, saya justru merasakan kehampaan. Ketika kalian bersuara lantang di tengah kebobrokan, kalian pun—tanpa sadar atau tidak—telah menjadi bagian dari kebobrokan itu sendiri. Ada upaya menggiring opini, menari dalam konflik yang berakar dari kebencian dan haus validasi. Ini krisis, katanya. Tapi yang muncul bukanlah sikap kritis—melainkan apatisme yang menyaru sebagai kepedulian. Ironisnya, mereka yang paling vokal menyuarakan kritik pun sering kali merupakan bagian dari permasalahan yang mereka kecam. Kita bangga pada tradisi perpeloncoan, gemar merendahkan sesama atas nama "kedewasaan organisasi" atau "proses pengkaderan." Kita berlindung di balik kedok kritis, padahal sering kali hanya memupuk ego dan kekuasaan kecil. Padahal, kritik sejati lahir dari pendidikan dan pemahaman yang mendalam—bukan dari amarah tanpa arah. Apa artinya mengagungkan Aswaja jika kita sendiri tak memahami nilai dan esensinya? Apa gunanya ...

Intelektual Organik dalam Menyuarakan Kaum Tertindas

Gambar
Refleksi Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional Pada tanggal 1 Mei 1889, dalam Kongres Buruh Dunia di Paris, disepakati bahwa 1 Mei akan diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Penetapan ini bukan sekadar seremonial tahunan, tetapi menjadi simbol perlawanan kaum pekerja terhadap sistem yang menindas. Dalam konteks Indonesia, istilah "buruh" sendiri berasal dari bahasa lisan petani Jawa dan dalam pendekatan sosiologis diidentifikasi dengan konsep proletariat — suatu kelas pekerja yang tidak memiliki alat produksi dan hanya menjual tenaga kerja sebagai satu-satunya komoditas. Hubungan antara buruh dan majikan bersifat konfliktual, mencerminkan pertentangan kepentingan antara kelas pekerja dan pemilik modal. Pendidikan dalam Jeratan Hegemoni Namun, perjuangan tidak akan mampu bergerak hanya dengan semangat, melainkan juga memerlukan kesadaran. Di sinilah peran kaum intelektual menjadi sangat krusial. Mahasiswa, akademisi, dan kaum terdidik harus mampu menjadi agen pe...